Di Singapura, Anak Muda Gunakan Paylater Walau Punya Gaji Tinggi

Dulu, metode pembayaran paylater identik dengan mereka yang mengalami kesulitan keuangan. Sebuah solusi instan untuk menunda pembayaran di tengah kebutuhan yang tak bisa ditunda. Namun di Singapura, wajah pengguna paylater kini mulai bergeser: mereka bukan hanya yang bergaji pas-pasan, tetapi juga para profesional muda dengan penghasilan mencapai belasan ribu dolar per bulan.

Sebuah survei gabungan dari Institute of Policy Studies (IPS) dan Channel News Asia (CNA) menunjukkan bahwa hampir tujuh dari sepuluh anak muda di Singapura telah menggunakan layanan paylater—dan menariknya, banyak di antaranya berasal dari kelompok berpenghasilan tinggi.

Leon Tan (32) adalah salah satunya. Bergaji 10.000 dolar Singapura per bulan—setara sekitar Rp128 juta—ia bukan tipikal pengguna yang bergantung pada skema cicilan untuk bertahan hidup. Namun, ia mengaku rutin menggunakan SPayLater dari Shopee dan layanan Atome untuk membayar dengan mencicil. Bukan karena tak mampu membayar tunai, tapi karena strategi finansial yang ia anggap efisien.

“Satu dolar sekarang lebih bernilai dibanding satu dolar di masa depan,” ujar Leon. “Kalau bisa menghindari bunga, kenapa tidak memanfaatkan paylater untuk menjaga arus kas?”

Bagi Leon, paylater bukan jalan keluar dari krisis, tapi alat bantu untuk tetap ‘bernapas’ di tengah gaya hidup urban yang makin mahal. Ia tidak sendiri.

Gaya Hidup Baru Kelas Menengah-Atas

Survei tersebut menyoroti perilaku keuangan warga Singapura berusia 21 hingga 39 tahun. Dari sekian banyak hal yang diteliti—dari sikap terhadap utang, menabung, hingga perencanaan masa depan—muncul satu benang merah yang mencolok: paylater telah menjadi bagian dari kebiasaan finansial anak muda, terlepas dari seberapa besar penghasilan mereka.

Sekitar 65,4% dari seluruh responden mengaku pernah menggunakan paylater. Kelompok usia 30–34 tahun menjadi pengguna paling dominan, dengan 72,3% dari mereka tercatat pernah memanfaatkan layanan ini. Sementara itu, di kelompok usia paling muda (21–24 tahun), lebih dari separuh—tepatnya 53,2%—juga tercatat sebagai pengguna aktif.

Yang mengejutkan, tren ini lebih kuat di kalangan berpenghasilan tinggi. Delapan dari sepuluh responden dengan penghasilan bulanan antara 6.000 hingga 7.000 SGD mengaku telah menggunakan setidaknya satu layanan paylater. Mereka adalah generasi muda dengan akses ke kartu kredit dan tabungan, namun tetap memilih menunda pembayaran demi menjaga likuiditas.

Utang Tak Lagi Dihindari

Menurut Dr. Teo Kay Key, peneliti IPS, kelompok berpenghasilan tinggi melihat utang dari sudut pandang yang berbeda. Mereka tidak alergi terhadap cicilan. Selama arus kas sehat dan bunga bisa dihindari, paylater justru dipandang mereka sebagai alat pengelolaan keuangan yang cerdas.

“Dengan pendapatan stabil dan tabungan yang cukup, membeli dengan skema cicilan bukan risiko. Bahkan bisa jadi pilihan yang rasional,” ujarnya.

Di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah menggunakan paylater karena kebutuhan. Mereka membelanjakan sebagian besar penghasilan untuk keperluan dasar, sehingga paylater menjadi ‘jeda’ agar kebutuhan tetap terpenuhi.

Biaya Hidup yang Terus Merangkak

Tren ini tak bisa dilepaskan dari realitas ekonomi yang melingkupi anak muda Singapura. Kenaikan biaya hidup menjadi keluhan hampir semua kalangan. Sebanyak 92,6% responden survei mengaku terdampak langsung.

Kelompok usia termuda (21 hingga 24 tahun) mengaku paling merasakannya. Sekitar 70,7% dari mereka mengaku sangat terdampak. Hal ini wajar, mengingat sebagian masih berstatus mahasiswa atau baru saja memasuki dunia kerja. Tabungan minim, penghasilan belum stabil, namun kebutuhan terus meningkat.

Antara Strategi dan Gaya Hidup

Yang menarik, paylater tidak lagi sekadar alat bantu finansial. Ia telah menjadi bagian dari strategi gaya hidup. Anak muda Singapura tidak ingin menyerah pada tekanan ekonomi, tapi juga tak ingin mengorbankan kenyamanan. Bagi mereka, paylater memberi ruang untuk mengatur ritme pengeluaran. Selama digunakan dengan bijak.

Dari fenomena ini, kita belajar satu hal: dalam dunia yang serba cepat dan mahal, fleksibilitas adalah segalanya. Bahkan bagi mereka yang secara nominal “mampu,” rasa aman finansial tak semata diukur dari saldo rekening saja. Tapi juga dari kemampuan mengelola arus kas, peluang, dan prioritas.

Sumber: CNBC (Linda/miq)

Previous Post Next Post

Advertise

Advertise

نموذج الاتصال