"Permisi, Om...": Suara Kecil dari Jalanan


"Permisi, Om..."

Suara gadis kecil terdengar pelan, nyaris tenggelam di tengah riuh rendah obrolan pengunjung kafe. Ia berdiri di samping meja, menyodorkan kantong plastik berwarna kuning. Di dalamnya, ada beberapa lembar rupiah pecahan seribu, dua ribu—Kusut dan lusuh.

Setiap kali kantong itu disodorkan, agaknya ia berharap ada yang berbaik hati menambahkan barang satu atau dua lembar. Bocah itu berjalan dari meja ke meja dengan tatapan lelah. Ada senyum tipis di wajahnya, namun nyaris datar. Ia bukan sedang bermain-main. Ia sedang bekerja.

Tak jauh darinya, terdengar musik bertempo cepat ala "jedag-jedug" yang biasa ditemui di TikTok. Ada badut kecil yang menari-nari mengikuti irama, mencoba menarik perhatian. Kostumnya berwarna-warni, namun kusam dan berdebu. Nampaknya telah dikenakan berkali-kali dalam waktu yang cukup lama.

Di kawasan Indrapura, Kabupaten Batu Bara, orang-orang menyebut mereka “Badut Mampang.” Mungkin karena kostum yang mereka kenakan mirip dengan badut jalanan di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Duet mereka muncul hampir setiap malam, berpindah dari satu titik keramaian ke titik lainnya. Sebagian orang menganggap ini sekadar hiburan. Ada yang memberi uang sambil tersenyum, ada pula yang meminta si badut menari lebih lama. Tapi pernahkah ada yang bertanya: apakah anak-anak itu baik-baik saja?

Beberapa pengunjung mungkin telah berkali-kali melihat mereka, namun tak satu pun yang benar-benar mengenal. Yang pasti, mereka bukan karakter dalam sebuah panggung sandiwara. Mereka nyata. Anak-anak itu sedang kehilangan masa kecilnya—perlahan demi perlahan.

Pola aktivitas yang sama juga terlihat pada kelompok anak-anak lainnya. Mereka bergantian. Menampilkan pertunjukan sederhana, menggantungkan harapan pada tangan-tangan orang asing di sekelilingnya. Jalanan, bagi sebagian anak, telah menjadi ruang bertahan hidup.

Pemerintah semestinya tak tinggal diam. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan statistik, atau bagian dari grafik kemiskinan yang cukup dilihat, lalu dilupakan. Manusia-manusia kecil ini sedang menanti janji dari negara: bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, pendidikan, dan kasih sayang.

Baca Juga: Ketua KPAD Batu Bara Soroti Anak-anak Mengamen di Malam Hari

Di Kabupaten Batu Bara, Bupati Baharuddin Siagian kini memegang kepercayaan masyarakat. Kehadirannya semestinya bukan hanya sekadar menggantikan sosok pemimpin sebelumnya, tetapi juga harus membawa perubahan yang lebih berarti. Harus ada gebrakan—langkah awal yang konkret dan berpihak.

Misalnya, Pemkab dapat melakukan pendataan menyeluruh dan penjangkauan langsung terhadap anak-anak yang terlibat dalam aktivitas jalanan. Perlindungan anak perlu menjadi agenda prioritas. Bukan hanya sekadar wacana, tapi harus diwujudkan dalam program yang terukur dan berkelanjutan yang melibatkan keluarga dan komunitas masyarakat.

Jika orang dewasa sering berkata, “dunia itu keras.” Tapi siapa sangka, kerasnya dunia bisa menyusup begitu cepat ke pundak sekecil itu. Setiap “permisi, Om…” yang mereka ucapkan, boleh jadi adalah sebuah isyarat yang tak terdengar—bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Saat malam berakhir, tak ada tepuk tangan. Tak ada ucapan terima kasih. Mereka berjalan menjauh, menyusuri jalanan gelap dengan sisa-sisa tenaga dan harapan. Esok, mereka kembali lagi. Dan malam terus mencuri yang seharusnya menjadi hak si kecil: bermain, bermimpi, dan tumbuh tanpa beban sebesar dunia.****


Penulis: Fakhruddin Al Razi
Previous Post Next Post

Advertise

Advertise

نموذج الاتصال